TRANSLATE

Pertempuran Laut Arafuru (Bagian II)

Posted by

  • Sudomo Sebagai Komandan

Bagaimanapun juga, Sudomo segara menyusun gugus tugas dengan mengandalkan dukungan dari keempat KCT eks Jerman Barat tersebut. Masing-masing RI Matjan Tutul dengan komandan Kapten Wiranto, RI Matjan Kumbang dipimpin Kapten Sidhoparomo, dan Rl Harimau dengan komandan Kapten Samuel Muda dan satu lagi RI Singa. Satuan ini diberi nama Satuan Tugas Chusus IX (STC-9). 

Tetapi sesudah satuan tugas ini terbentuk, langsung muncul persoalan baru, siapa yang harus ditunjuk menjadi komandan "Hari itu pula saya kumpulkan semua perwira dengan pangkat Letnan kolonel dan Mayor yang bertugas di lingkungan MBAL. Pokoknya, semua perwira yang pangkatnya lebih tinggi dari para komandan KCT. Saya beberkan rencana operasi, mengangkut pasukan untuk di daratkan di Irian dan langsung harus bisa kembali secepatnya ke Jakarta. Saya tawarkan posisi tersebut, "Siapa yang secara sukarela bersedia menjabat komandan satgas?," beber Sudomo. Menurut Sudomo, tak tampak satu pun perwira di ruangan yang berani angkat tangan. Ia menarik kesimpulan, tidak ada perwira yang punya keberanian untuk memimpin satgas tersebut. Secara pribadi ia merasa operasi laut semacam itu sangat berbahaya dan sulit dipertanggung jawabkan, karena tidak memenuhi semua ketentuan sebagaimana dipersyaratkan layaknya suatu operasi militer. Satuan tugas tersebut diberangkatkan menuju daerah operasi yang letaknya 2.000 mil laut dari pangkalan awal di Tanjung Priok, Jakarta. Untuk bisa mencapai sasaran sejauh itu, STC IX ini perlu melakukan tiga kali temu kumpul (rendezvous) untuk pengisian bahan bakar, yang semuanya harus dilakukan di tengah laut, agar mampu menjaga faktor kerahasiaan. Kelemahan-kelemahan lain ialah kapal cepat torpedo tersebut tidak dilengkapi dengan senjata utama torpedo untuk dapat melawan serangan kapal di permukaan air yang memiliki senjata meriam kaliber besar. Untuk menghadapi serangan udara kapal diperlengkapi dengan dua Boffors kaliber 40 mm dan dua senapan mesin kaliber 12,7 mm. Faktor rawan lainnya ialah tidak adanya bantuan udara maupun tembakan dari udara khususnya pada waktu malam hari (infiltrasi dari laut dilakukan malam hari), karena angkatan udara kita belum memiliki pesawat sejenis yang dimiliki oleh Belanda ialah Neptune dengan 2 kemampuan tersebut. Itulah berbagai masalah yang saat itu menimpa Sudomo. Merancang suatu operasi militer yang sama sekali tidak ditunjang dengan persyaratan minimal. 

Bagaimanapun juga, perintah adalah perintah, apalagi kali ini datangnya dari Panglima Tertinggi. Rapat segera dibubarkan dan Sudomo langsung melaporkan hasilnya kepada Deputi I Angkatan Laut, Komodor Yosaphat Soedarso, rekan satu kelas semasa mengikuti pendidikan Sarangan. ”Lapor, karena tidak ada perwira yang berminat untuk menjabat Komandan Satgas KCT, mohon izin, saya sendiri memimpin satgas ini," kata Sudumo tegar. Jawaban langsung diberikan Yos Soedarso, "Kalau kau berangkat, saya juga akan ikut berangkat...". DAMPAK POLITIKNYA BESAR Terus terang mendengar jawaban spontan semacam itu, hati Sudomo justru semakin bingung. Pada waktu itu, Yos adalah pejabat penting. Selaku Deputi I, dia adalah orang kedua dalam jajaran ALRI. Sedangkan operasi yang bakal dilakukan, sifatnya gerakan infiltrasi sekaligus aksi intelijen yang sulit dipertanggung jawabkan secara militer. Tidak sekedar berpatroli dekat perbatasan, melainkan harus masuk langsung ke wilayah musuh. Kemungkinan berhasil dalam perhitungan Sudomo memang masih terbuka. Tetapi, tingkat kerawanannya sangat tinggi. Sehingga misalnya sampai terjadi sesuatu kepada orang nomor dua dalam jajaranan ALRI tersebut, pasti akan menyeret dampak politis teramat besar. Mungkin tak bakal sebanding dengan keterlibatan seorang Deputi Operasi. Maka dengan nada halus Sudomo berusaha mencegah agar Komodor Yos Soedarso tidak usah ikut dalam pelaksanaan operasi rahasia ini. Tetapi usahanya sia-sia. Yos masih tetap saja memaksa. Terutama setelah dia sempat mendengar, Kolonel Moersjid, Asisten Operasi KSAD, juga bakal ikut. Dalam operasi infiltrasi ini, "Lalu bagaimana ini, masa Moersjid bisa ikut kok saya malahan tidak? ini kan kapal Angkatan Laut?". 

Menurut Moersjid, rangkaian infiltrasi yang dikelola Angkatan Darat dengan menyelundupkan pasukan ke daerah musuh, sudah beberapa kali dilakukan. Perwira penanggung jawab program infiltrasi berada pada Kolonel Magenda, asisten intelijen KSAD, dengan perwira pelaksana Letnan Kolonel Roejito. "Terus terang waktu itu kami belum merasa puas. Masuk, untuk merebut pulau segede Irian, hanya pakai infiltrasi kecil-kecilan" Sesudah mempelajari berbagai kenyataan di lapangan, pimpinan Angkatan Darat agaknya ingin mengubah kebijakan. Mereka kemudian mempersiapkan tenaga infiltran dalam jumlah besar. Pada umumnya, pasukan tersebut beranggotakan putera daerah, warga Irian yang sejak dulu telah mendukung Republik. Kolonel Moersjid, perwira militer yang merintis karier dalam Divisi Siliwangi, menyatakan, "Sebagai Asisten Operasi KSAD, apa saya harus duduk dan Ongkang-ongkang di belakang meja? Saya juga harus tahu situasi lapangan. Dan apa kita tega melepas begitu saja pasukan yang sekian lama kita bina bersama?. Maka untuk infiltrasi lewat laut kali ini, saya bersama Roedjito sengaja ikut berangkat, mencermati situasi dan untuk merancang program infiltrasi lanjutan...". 

Tanggal 9 Januari 1962 malam, dengan berlindung di balik kegelapan, satu demi satu empat MTB tersebut segera menyelinap keluar, meninggalkan pangkalannya di Tanjung Priok, Jakarta. Dengan gagah, Sudomo yang ketika itu baru saja dinaikkan pangkatnya menjadi Kolonel, selaku Komandan STC IX, berdiri di anjungan RI Harimau, Pikirannya jauh melayang ke depan, membayangkan 2.000 mil laut rute pelayaran yang harus ditempuhnya. Ke empat kapal STC IX ini sejak awal memang dirancang untuk bergerak secara rahasia. Mereka menangani tugas infiltrasi, dengan demikian semakin banyak orang tak tahu, semakin menguntungkan bagi misi yang sedang mereka laksanakan. Sementara itu, satu kompi pasukan putra daerah yang sudah dilatih, diberangkatkan pada tanggal 14 Januari dengan kapal terbang Herkules AURI, langsung dari Landasan udara Halim Perdanakusuma, Jakarta. Ikut serta dalam pesawat yang sama Komodor Yos Soedarso, Kolonel Moersjid dan Letnan Kolonel Roedjito. 


  • Kibarkan Merah Putih

Selama pelayaran menuju daerah sasaran, ke empat MTB berada pada kondisi Total Black Out dan Radio Silence, mereka sama sekali tidak boleh menggunakan hubungan radio, di samping itu seluruh lampu kapal dipadamkan serta sejauh mungkin menghindari pertemuan dengan kapal-kapal niaga. Satu-satunya lampu yang boleh dinyalakan, sebuah lampu kecil di bagian belakang kapal. lampu itulah pedoman arah bagi kapal yang kebetulan berada di belakangnya," kata Kapten Sidhopramono, Komandan Matjan Kumbang, alumnus AAL 1960. Kecuali merancang pelayaran SCT IX dengan gerak melambung, menyusuri lebih dulu perairan Nusa Tenggara sebelum nantinya membelok ke arah timur laut ketika sudah mendekati daerah sasaran menyeberangi perairan Maluku, Sudomo juga menetapkan tiga titik kumpul (rendezvous/RV) antara Jakarta sampai ke Maluku. RV pertama terletak di selat Madura, bertemu dengan RI Patimura. RV kedua di utara Flores dengan RI Rakata dan RV ketiga di dekat Pulau Udjir, Kepulauan Kai, Maluku. Lokasi rendezvous terakhir untuk bisa bertemu dengan RI Multatuli, sebelum masuk ke perairan Irian. Ketiga titik pertemuan tersebut harus bisa ditemukan sendiri, karena di situlah kapal-kapal cepat torpedo harus mengisi tambahan bahan bakar. 

Selama pelayaran, musibah menimpa dua kapal, RI Matjan Kumbang. mengalami gangguan mesin, sehingga agak terlambat sampai di RV ketiga. Sementara itu RI Singa, tidak bisa mencapai RV ketiga, karena kehabisan bahan bakar di tengah jalan. Dengan demikian akhirnya, meskipun tidak bersamaan, hanya tiga MTB bisa mencapai perairan PuIau Udjir, merapat ke Rl Multatuli untuk menerima bahan bakar tambahan dan memuat para infiltran. "Kami mendarat dengari cara nekat" kata Kolonel Moersjid. Ia merasa para penerbang Herkules AURI tampaknya mendarat dengan pedoman yang juga dalam situasi serba darurat. Mursjid menambahkan, "Dalam briefing awal di Jakarta, kami telah menerima penjelasan, landasan darurat di Pulau Langgur sudah selesai diperbaiki, sehingga bisa menampung pendaratan Herkules dengan nyaman. Tetapi setelah mendarat dengan suara gemuruh dan terbanting-banting, ketika keluar dari perut pesawat, yang kami temukan justru samak belukar setinggi manusia...".

RI Matjan Tutul sesudah debarkasi pasukan selesai dilakukan di landasan darurat Pulau Langgur, para infiltran tersebut kemudian menyeberang ke Pulau Udjir, tempat RI Multatuli membuang jangkar. Dengan cepat Herkules pengangkut pasukan segera terbang kembali pulang ke Jakarta. Menjelang sore hari, tanggal 15 Januari, di atas RI Multatuli, Sudomo Komandan STC IX, memberikan briefing tentang rencana operasi. Hadir lengkap ketiga komandan KCT. Kecuali itu juga ikut briefing Deputi Operasi KSAL Komodor Yos Soedarso, Asisten Operasi KSAD Kolonel Moesjid dan Letnan Kolonel Roedjito. ”Pangkat saya lebih yunior, tetapi karena saya komandan, sayalah yang harus bertanggung jawab dalam keseluruhan operasi," begitu Sudomo mengenang situasi saat itu. Ketika menguraikan rencana operasi, Sudomo menatapkan mereka akan berangkat meninggalkan RV ke tiga ini tepat pada pukul 24.00 tengah malam. Kecepatan rata-rata kapal ditentukan 20 mil per jam. Ketiga kapal harus tetap berlayar total Black out dengan selalu dalam formasi 18 (kiellinie), bergerak berurutan. RI Harimau berada paling depan, RI Matjan Tutul di tengah dan RI Matjan Kumbang paling belakang. "Ada pertanyaan?" tanya Sudomo.

Sudomo masih tetap berupaya agar Komodor Yos Soedarso tidak usah ikut berlayar. Saya ingatkan tugas kita hanya mengantar para infiltran sampai di daerah sasaran. Tetapi sayang beliau tetap menolak. Malahan minta agar dirinya di satukan dengan unit infiltran, pasukan ini harus mencapai pantai Irian dengan memakai perahu karet. Atas pertimbangan tersebut, maka Sudomo kemudian menempatkan Yos Soedarso di Rl Matjan Tutul bersama para infiltran. Sementara dirinya dengan Moersjid dan Roedjito naik RI Harimau. Belakangan baru Sudomo tahu, keinginan Yos Soedarso untuk bisa ikut mendarat, didorong oleh tekadnya dalam memenuhi perintah Trikora dari Bung Karno. Khususnya bagian, kibarkan Bendera Merah Putih di bumi Irian. “Beliau sudah membawa bendera dari Jakarta, untuk bisa ditancapkan di Irian. Selanjutnya, beliau juga ingin mengambil sebongkah tanah Irian untuk di serahkan kepada Bung Karno. 

Selanjutnya di  Pertempuran Laut Arafuru (Bagian III)


Blog, Updated at: 2:56:00 PM

0 komentar:

Post a Comment

Follow with G+

---------------------------------------------

---------------------------------------------

STATISTIK