- Sudomo Sebagai Komandan
Bagaimanapun juga, Sudomo segara menyusun gugus tugas dengan
mengandalkan dukungan dari keempat KCT eks Jerman Barat tersebut. Masing-masing
RI Matjan Tutul dengan komandan Kapten Wiranto, RI Matjan Kumbang dipimpin
Kapten Sidhoparomo, dan Rl Harimau dengan komandan Kapten Samuel Muda dan satu
lagi RI Singa. Satuan ini diberi nama Satuan Tugas Chusus IX (STC-9).
Tetapi
sesudah satuan tugas ini terbentuk, langsung muncul persoalan baru, siapa yang
harus ditunjuk menjadi komandan "Hari itu pula saya kumpulkan semua
perwira dengan pangkat Letnan kolonel dan Mayor yang bertugas di lingkungan
MBAL. Pokoknya, semua perwira yang pangkatnya lebih tinggi dari para komandan
KCT. Saya beberkan rencana operasi, mengangkut pasukan untuk di daratkan di
Irian dan langsung harus bisa kembali secepatnya ke Jakarta. Saya tawarkan
posisi tersebut, "Siapa yang secara sukarela bersedia menjabat komandan
satgas?," beber Sudomo. Menurut Sudomo, tak tampak satu pun perwira di
ruangan yang berani angkat tangan. Ia menarik kesimpulan, tidak ada perwira
yang punya keberanian untuk memimpin satgas tersebut. Secara pribadi ia merasa
operasi laut semacam itu sangat berbahaya dan sulit dipertanggung jawabkan,
karena tidak memenuhi semua ketentuan sebagaimana dipersyaratkan layaknya suatu
operasi militer. Satuan tugas tersebut diberangkatkan menuju daerah operasi
yang letaknya 2.000 mil laut dari pangkalan awal di Tanjung Priok, Jakarta.
Untuk bisa mencapai sasaran sejauh itu, STC IX ini perlu melakukan tiga kali
temu kumpul (rendezvous) untuk pengisian bahan bakar, yang semuanya harus
dilakukan di tengah laut, agar mampu menjaga faktor kerahasiaan.
Kelemahan-kelemahan lain ialah kapal cepat torpedo tersebut tidak dilengkapi
dengan senjata utama torpedo untuk dapat melawan serangan kapal di permukaan
air yang memiliki senjata meriam kaliber besar. Untuk menghadapi serangan udara
kapal diperlengkapi dengan dua Boffors kaliber 40 mm dan dua senapan mesin
kaliber 12,7 mm. Faktor rawan lainnya ialah tidak adanya bantuan udara maupun
tembakan dari udara khususnya pada waktu malam hari (infiltrasi dari laut
dilakukan malam hari), karena angkatan udara kita belum memiliki pesawat
sejenis yang dimiliki oleh Belanda ialah Neptune dengan 2 kemampuan tersebut.
Itulah berbagai masalah yang saat itu menimpa Sudomo. Merancang suatu operasi
militer yang sama sekali tidak ditunjang dengan persyaratan minimal.
Bagaimanapun juga, perintah adalah perintah, apalagi kali ini datangnya dari
Panglima Tertinggi. Rapat segera dibubarkan dan Sudomo langsung melaporkan
hasilnya kepada Deputi I Angkatan Laut, Komodor Yosaphat Soedarso, rekan satu
kelas semasa mengikuti pendidikan Sarangan. ”Lapor, karena tidak ada perwira
yang berminat untuk menjabat Komandan Satgas KCT, mohon izin, saya sendiri
memimpin satgas ini," kata Sudumo tegar. Jawaban langsung diberikan Yos
Soedarso, "Kalau kau berangkat, saya juga akan ikut berangkat...". ☆
DAMPAK POLITIKNYA BESAR Terus terang
mendengar jawaban spontan semacam itu, hati Sudomo justru semakin bingung. Pada
waktu itu, Yos adalah pejabat penting. Selaku Deputi I, dia adalah orang kedua
dalam jajaran ALRI. Sedangkan operasi yang bakal dilakukan, sifatnya gerakan
infiltrasi sekaligus aksi intelijen yang sulit dipertanggung jawabkan secara
militer. Tidak sekedar berpatroli dekat perbatasan, melainkan harus masuk
langsung ke wilayah musuh. Kemungkinan berhasil dalam perhitungan Sudomo memang
masih terbuka. Tetapi, tingkat kerawanannya sangat tinggi. Sehingga misalnya sampai
terjadi sesuatu kepada orang nomor dua dalam jajaranan ALRI tersebut, pasti
akan menyeret dampak politis teramat besar. Mungkin tak bakal sebanding dengan
keterlibatan seorang Deputi Operasi. Maka dengan nada halus Sudomo berusaha
mencegah agar Komodor Yos Soedarso tidak usah ikut dalam pelaksanaan operasi
rahasia ini. Tetapi usahanya sia-sia. Yos masih tetap saja memaksa. Terutama
setelah dia sempat mendengar, Kolonel Moersjid, Asisten Operasi KSAD, juga
bakal ikut. Dalam operasi infiltrasi ini, "Lalu bagaimana ini, masa
Moersjid bisa ikut kok saya malahan tidak? ini kan kapal Angkatan Laut?".
Menurut Moersjid, rangkaian infiltrasi yang dikelola Angkatan Darat dengan
menyelundupkan pasukan ke daerah musuh, sudah beberapa kali dilakukan. Perwira
penanggung jawab program infiltrasi berada pada Kolonel Magenda, asisten
intelijen KSAD, dengan perwira pelaksana Letnan Kolonel Roejito. "Terus
terang waktu itu kami belum merasa puas. Masuk, untuk merebut pulau segede
Irian, hanya pakai infiltrasi kecil-kecilan" Sesudah mempelajari berbagai
kenyataan di lapangan, pimpinan Angkatan Darat agaknya ingin mengubah
kebijakan. Mereka kemudian mempersiapkan tenaga infiltran dalam jumlah besar.
Pada umumnya, pasukan tersebut beranggotakan putera daerah, warga Irian yang sejak
dulu telah mendukung Republik. Kolonel Moersjid, perwira militer yang merintis
karier dalam Divisi Siliwangi, menyatakan, "Sebagai Asisten Operasi KSAD,
apa saya harus duduk dan Ongkang-ongkang di belakang meja? Saya juga harus tahu
situasi lapangan. Dan apa kita tega melepas begitu saja pasukan yang sekian
lama kita bina bersama?. Maka untuk infiltrasi lewat laut kali ini, saya
bersama Roedjito sengaja ikut berangkat, mencermati situasi dan untuk merancang
program infiltrasi lanjutan...".
Tanggal 9 Januari 1962 malam, dengan
berlindung di balik kegelapan, satu demi satu empat MTB tersebut segera
menyelinap keluar, meninggalkan pangkalannya di Tanjung Priok, Jakarta. Dengan
gagah, Sudomo yang ketika itu baru saja dinaikkan pangkatnya menjadi Kolonel, selaku
Komandan STC IX, berdiri di anjungan RI Harimau, Pikirannya jauh melayang ke
depan, membayangkan 2.000 mil laut rute pelayaran yang harus ditempuhnya. Ke
empat kapal STC IX ini sejak awal memang dirancang untuk bergerak secara
rahasia. Mereka menangani tugas infiltrasi, dengan demikian semakin banyak
orang tak tahu, semakin menguntungkan bagi misi yang sedang mereka laksanakan.
Sementara itu, satu kompi pasukan putra daerah yang sudah dilatih,
diberangkatkan pada tanggal 14 Januari dengan kapal terbang Herkules AURI,
langsung dari Landasan udara Halim Perdanakusuma, Jakarta. Ikut serta dalam
pesawat yang sama Komodor Yos Soedarso, Kolonel Moersjid dan Letnan Kolonel
Roedjito.
- Kibarkan Merah Putih
Selama pelayaran menuju daerah sasaran,
ke empat MTB berada pada kondisi Total Black Out dan Radio Silence, mereka sama
sekali tidak boleh menggunakan hubungan radio, di samping itu seluruh lampu
kapal dipadamkan serta sejauh mungkin menghindari pertemuan dengan kapal-kapal
niaga. Satu-satunya lampu yang boleh dinyalakan, sebuah lampu kecil di bagian
belakang kapal. lampu itulah pedoman arah bagi kapal yang kebetulan berada di
belakangnya," kata Kapten Sidhopramono, Komandan Matjan Kumbang, alumnus
AAL 1960. Kecuali merancang pelayaran SCT IX dengan gerak melambung, menyusuri
lebih dulu perairan Nusa Tenggara sebelum nantinya membelok ke arah timur laut
ketika sudah mendekati daerah sasaran menyeberangi perairan Maluku, Sudomo juga
menetapkan tiga titik kumpul (rendezvous/RV) antara Jakarta sampai ke Maluku. RV
pertama terletak di selat Madura, bertemu dengan RI Patimura. RV kedua di utara
Flores dengan RI Rakata dan RV ketiga di dekat Pulau Udjir, Kepulauan Kai,
Maluku. Lokasi rendezvous terakhir untuk bisa bertemu dengan RI Multatuli,
sebelum masuk ke perairan Irian. Ketiga titik pertemuan tersebut harus bisa
ditemukan sendiri, karena di situlah kapal-kapal cepat torpedo harus mengisi
tambahan bahan bakar.
Selama pelayaran, musibah menimpa dua kapal, RI Matjan
Kumbang. mengalami gangguan mesin, sehingga agak terlambat sampai di RV ketiga.
Sementara itu RI Singa, tidak bisa mencapai RV ketiga, karena kehabisan bahan
bakar di tengah jalan. Dengan demikian akhirnya, meskipun tidak bersamaan,
hanya tiga MTB bisa mencapai perairan PuIau Udjir, merapat ke Rl Multatuli untuk
menerima bahan bakar tambahan dan memuat para infiltran. "Kami mendarat
dengari cara nekat" kata Kolonel Moersjid. Ia merasa para penerbang
Herkules AURI tampaknya mendarat dengan pedoman yang juga dalam situasi serba
darurat. Mursjid menambahkan, "Dalam briefing awal di Jakarta, kami telah
menerima penjelasan, landasan darurat di Pulau Langgur sudah selesai
diperbaiki, sehingga bisa menampung pendaratan Herkules dengan nyaman. Tetapi
setelah mendarat dengan suara gemuruh dan terbanting-banting, ketika keluar
dari perut pesawat, yang kami temukan justru samak belukar setinggi
manusia...".
RI Matjan Tutul sesudah debarkasi pasukan selesai dilakukan
di landasan darurat Pulau Langgur, para infiltran tersebut kemudian menyeberang
ke Pulau Udjir, tempat RI Multatuli membuang jangkar. Dengan cepat Herkules
pengangkut pasukan segera terbang kembali pulang ke Jakarta. Menjelang sore
hari, tanggal 15 Januari, di atas RI Multatuli, Sudomo Komandan STC IX,
memberikan briefing tentang rencana operasi. Hadir lengkap ketiga komandan KCT.
Kecuali itu juga ikut briefing Deputi Operasi KSAL Komodor Yos Soedarso,
Asisten Operasi KSAD Kolonel Moesjid dan Letnan Kolonel Roedjito. ”Pangkat saya
lebih yunior, tetapi karena saya komandan, sayalah yang harus bertanggung jawab
dalam keseluruhan operasi," begitu Sudomo mengenang situasi saat itu.
Ketika menguraikan rencana operasi, Sudomo menatapkan mereka akan berangkat
meninggalkan RV ke tiga ini tepat pada pukul 24.00 tengah malam. Kecepatan
rata-rata kapal ditentukan 20 mil per jam. Ketiga kapal harus tetap berlayar
total Black out dengan selalu dalam formasi 18 (kiellinie), bergerak berurutan.
RI Harimau berada paling depan, RI Matjan Tutul di tengah dan RI Matjan Kumbang
paling belakang. "Ada pertanyaan?" tanya Sudomo.
Sudomo masih tetap
berupaya agar Komodor Yos Soedarso tidak usah ikut berlayar. Saya ingatkan
tugas kita hanya mengantar para infiltran sampai di daerah sasaran. Tetapi
sayang beliau tetap menolak. Malahan minta agar dirinya di satukan dengan unit
infiltran, pasukan ini harus mencapai pantai Irian dengan memakai perahu karet.
Atas pertimbangan tersebut, maka Sudomo kemudian menempatkan Yos Soedarso di Rl
Matjan Tutul bersama para infiltran. Sementara dirinya dengan Moersjid dan
Roedjito naik RI Harimau. Belakangan baru Sudomo tahu, keinginan Yos Soedarso
untuk bisa ikut mendarat, didorong oleh tekadnya dalam memenuhi perintah
Trikora dari Bung Karno. Khususnya bagian, kibarkan Bendera Merah Putih di bumi
Irian. “Beliau sudah membawa bendera dari Jakarta, untuk bisa ditancapkan di
Irian. Selanjutnya, beliau juga ingin mengambil sebongkah tanah Irian untuk di
serahkan kepada Bung Karno.
Selanjutnya di Pertempuran Laut Arafuru (Bagian III)
Selanjutnya di Pertempuran Laut Arafuru (Bagian III)
0 komentar:
Post a Comment